Jumat, 04 Mei 2012

Mengkritisi Film (Review Film) "The Boy in the Striped Pyjamas"

Yep, review film, satu tugas lagi dari mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Indonesia semester 1 selain jurnal, literature review, dan esai argumentatif. Film yang harus direview kali ini ialah “The Boy in the Striped Pyjamas”.

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ -----------------
=========================================================
Review Film “The Boy in the Striped Pyjamas”
Putrie Kusuma Wardhani/1106002583

            Menurut saya, film berdurasi satu setengah jam yang mengisahkan persahabatan antara Bruno, anak seorang komandan NAZI yang baru berumur sembilan tahun dengan seorang anak keturunan Yahudi bernama Shmuel yang notabene merupakan musuh ayahnya ini sangat menarik untuk ditonton. Ini terbukti ketika film ini ditayangkan di auditorium di hadapan ratusan mahasiswa psikologi UI 2011 Kamis, 27 Oktober 2011 yang lalu, entah karena ada bagian dari CD-nya yang tergores atau   kotor, tiba-tiba macet di tengah jalan. Spontan suasana auditorium yang tadinya hening berubah menyerupai pasar, ramai dengan ekspresi kekecewaan yang serentak ditunjukkan oleh para peserta dan mereka pun menolak mentah-mentah ketika sang dosen menawarkan untuk menceritakan akhir ceritanya secara lisan. Hal ini tentu tidak terlepas dari para pemerannya seperti pemeran Bruno, Asa Butterfield, ibu Bruno, Vera Varmiga, dan seluruh pemeran dari film ini yang mampu memerankan peran mereka masing-masing dengan amat baik dan terlihat menjiwai. Mereka berhasil membuat saya tidak seperti sedang menonton sebuah sandiwara melainkan benar-benar menyaksikan perjalanan hidup sebuah keluarga di Jerman pada era Perang Dunia ke-2 yang penuh pro kontra. Terlebih ini bukanlah sebuah film dengan cerita klise yang mudah ditebak apa-apa saja yang sedang dan akan terjadi di dalamnya sehingga cukup menimbulkan efek ketegangan dan rasa ingin tahu yang mendalam bagi penontonnya. Judul filmnya juga sangat unik dan saya amat terkesan olehnya. Sungguh saya tidak bisa menebak sebelumnya dan sama sekali tidak menyangka jika ternyata film ini memperlihatkan penderitaan para yahudi karena kekejaman NAZI dan yang dimaksud the boy in the striped pyjamas adalah seorang anak dengan baju tahanannya yang menyerupai piyama. Poin positifnya lagi, walaupun menegangkan, film ini masih mampu pula mengundang gelak tawa melalui aksi-aksi Bruno yang konyol dan menggemaskan.
            Film garapan Mark Herman ini pun tidak membingungkan sehingga cukup mudah dipahami karena pada dasarnya film ini hanya fokus pada satu permasalahan saja ditambah dengan alurnya yang maju. Film ini benar-benar disajikan secara runtut dari awal hingga akhir dan membuat saya yang sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh para tokohnya dan banyak tidak paham arti kata-kata terjemahannya yang juga berbahasa Inggris masih mampu mengikut dan memahami jalan cerita film ini. Setiap adegan yang ditampilkan pun saya rasa cukup memadai sebagai media yang dapat mentransferkan ide-ide dan berbagai macam hal yang ingin disampaikan oleh penulis kepada penonton. Sayangnya, banyak adegan yang terkesan diulang-ulang seperti aksi mengendap-endap dan perjuangan Bruno yang ingin keluar dari batas area legalnya, perjalanan Bruno yang hendak menemui Shmuel, serta pertemuannya dengan Shmuel yang tempatnya selalu sama dan kegiatannya hanya itu-itu saja: duduk saling berhadap-hadapan dan mengobrol atau bermain tanpa banyak bergerak dengan jeruji besi yang memisahkan mereka berdua. Semua itu membuat film ini tampak bertele-tele dan beberapa kali menghadirkan rasa bosan bahkan dengan durasinya yang cukup singkat, walaupun kebosanan itu akhirnya tertutupi juga karena secara umum film ini memang telah dikemas dengan apik.
            Walaupun berlatar puluhan tahun silam, film ini tetap cocok ditonton oleh para manusia yang hidup pada zaman globalisasi ini. Kini Hitler memang sudah tiada, NAZI tinggal sejarah, dan bahkan sebagian bangsa Jerman menganggap apa yang pernah pendahulu mereka lakukan merupakan sebuah aib sehingga tentu saja mereka tidak lagi melakukan kekejaman fisik kepada para yahudi, namun film ini masih banyak mencerminkan berbagai macam fenomena yang terjadi pada zaman sekarang. Fenomena itu memang bukan lagi tentang seorang anak yang harus meninggalkan teman dan masa kanak-kanaknya yang seru lantaran harus pindah ke desa terpencil di dekat tempat pembantaian kaum yahudi mengikuti ayahnya yang merupakan bawahan Hitler yang baru naik pangkat, walaupun hal semacam itu walau satu banding seribu mungkin di Palestina atau di Israel sana masih ada pula yang mengalaminya. Bukan juga tentang seorang ayah yang secara tidak langsung membuat anaknya terbunuh secara mengenaskan di dalam ruang pembakaran. Namun lebih mengenai keegoisan orang tua yang tanpa mereka sadari ternyata menimbulkan dampak yang amat buruk terhadap anak-anak mereka.
Saya pribadi percaya, hampir seluruh orang tua pasti sayang pada anak-anak kandung mereka dan menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Dalam film ini, terlihat bahwa sang ibu sangat bahagia mengetahui mereka bisa pindah ke sebuah rumah yang jauh lebih besar dan berkebun. Ini tentu bukan semata-mata karena ia matre, namun lebih karena ia pikir dengan hal semacam itu akan membuat hidup anak-anaknya lebih sejahtera dan bahagia. Buktinya setelah ia sadar bahwa rumah baru mereka sama sekali bukan tempat yang baik bagi perkembangan putra-putrinya, ia bersikeras minta dipindahkan beserta anak-anaknya, Bruno dan Maria.  Hanya saja apa yang mereka pikir terbaik di awal itu belum tentu yang terbaik bagi anak-anak mereka. Walaupun penciptaan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli telah berlalu puluhan tahun silam juga, namun praktik perjodohan masih saja ada hingga sekarang. Orang tua memang mungkin akan menjodohkan anaknya dengan anak dari keluarga yang telah diketahui baik bibit, bobot, bebetnya. Namun tanpa cinta, hal ini justru akan membuat mereka tidak bahagia dengan companionate, cinta tanpa passion, yang ada hanya intimacy dan commitment, bahkan menderita dengan empty love yang hanya terdiri atas komitmen saja. Lebih parahnya jika mereka tidak tahan dan akhirnya bercerai, ini akan membawa dampak yang buruk bagi cucu mereka yang notabene anak dari anak mereka.
Perceraian, entah apapun alasannya, bagi saya merupakan salah satu bentuk keegoisan orang tua yang pasti sedikit banyak pasti akan berdampak buruk bagi anak-anak mereka layaknya tindakan Ralf yang kurang memikirkan perasaan Bruno dengan memindahkannya secara tiba-tiba ke lingkungan tanpa anak-anak yang tak dapat diajak bermain dan sangat buruk untuk perkembangan psikologi seorang anak kecil yang masih polos. Dulu saya punya tetangga. Orang tua mereka bercerai. Untungnya mereka masih punya kakek yang mau merawat mereka. Mereka  memang akhirnya tumbuh kian dewasa seperti anak-anak pada umumnya di bawah asuhan kakeknya. Bagaimanapun juga tanpa kelembutan seorang ibu, perilaku mereka bisa dikatakan cenderung brutal dan seenaknya. Salah satu dari mereka ada pula yang pernah tinggal kelas. Begitu juga dengan dua teman saya yang lainnya. Ia harus putus sekolah untuk sementara waktu, kurang terbuka jika ditanya tentang identitasnya, dan tiba-tiba menghilang tanpa kabar, padahal sebelumnya ia merupakan gadis periang yang sering berinteraksi bersama kami. Ternyata ia tengah terlunta-lunta dan akhirnya pindah dari Yogyakarta ke Surabaya, hidup dengan beban berat di tengah kerasnya kota tanpa kasih sayang orang tua. Sedangkan teman yang lain seorang laki-laki. Karena tidak tahan dengan kondisi rumah yang sering diwarnai cek cok dan kekerasan pada ibu oleh ayahnya, ia pun memutuskan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib sendiri di sana. Padahal kala itu ia masih duduk di kelas sebelas yang berarti pada akhirnya ia putus sekolah.
Sedangkan untuk ide-ide cerita, Mark Herman kiranya telah memvisualisasikannya dengan sederhana dan tidak berbelit- belit alias praktis. Di samping itu juga tentu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari film ini, saya belajar banyak hal. Salah satunya mengenai kejujuran. Dari film ini saya semakin yakin akan pentingnya sebuah kejujuran. Apa-apa saja yang dilakukan Bruno seperti hobinya mengeksplorasi alam, bertemu dan berteman dengan Shmuel, serta tindakannya yang ingin membantu Shmuel menemukan ayahnya sama sekali bukan sebuah hal yang tercela, bahkan mungkin dapat dikatakan terpuji. Namun ia melakukan itu semua diawali dengan ketidakjujuran, terlebih pada ibunya. Andai dia mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang tuanya tentu akan lain ceritanya. Siapa tahu ayahnya luluh dan yang terpenting ia tidak akan mati konyol seketika di ruang pembakaran.
Dari film ini, saya semakin yakin bahwa orangtua pasti mempunyai sayang pada anaknya. Seperti Ralf, walaupun ia begitu kasar dan keras terhadap bawahan, musuh, atau bahkan istrinya, ia tetap lembut saat berinteraksi pada anak-anaknya.
Dari film ini pula, jika suatu saat saya ditanya tentang siapakah orang terjujur di dunia ini, maka dengan lebih mantap saya akan menjawab anak kecil. Sering kita menganggap remeh anak kecil lantaran mereka memang belum banyak makan asam garam, namun merekalah sosok-sosok yang hati nuraninya belum banyak terpengaruh dan terkontaminasi oleh busuknya dunia ini. Padahal hati nurani selalu membisikkan kebaikan. Mereka cenderung berbicara dan berpendapat apa adanya. Saya terharu ketika Bruno bertanya mengapa Pavel memakai piyama. Polos sekali. Bruno pribadi tidak melihat aura kejahatan pada Shmuel walaupun ayahnya menganggap bangsa yahudi termasuk Shmuel adalah musuhnya. Maka ia pun mau dan akhirnya mampu menjalin sebuah persahabatan yang tulus. Mengenai kebohongan yang dilakukan Bruno pada orangtuanya, menurut saya bukan spenuhnya merupakan kesalahannya. Jika orangtuanya lebih pengertian padanya, pasti ia tak akan melakukan kebohongan itu. Maka menurut saya, boleh lah kiranya suatu saat saya meminta pendapat anak kecil untuk mempertimbangkan sesuatu dan perlulah kiranya kita menurunkan kesombongan kita untuk sesekali belajar dari seorang anak kecil yang lugu.

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ -----------------
=========================================================
Nilai review film ini: 78
=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ -----------------
=========================================================

welcome to University of Indonesia, a real KAMPUS PERJUANGAN
and
WELCOME to PSYCHOLOGY UI WORLD, Pejuang! XD

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ -----------------
=========================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar