Jumat, 04 Mei 2012

Literature Review: Aturan Mendisiplinkan Anak dengan Baik dan Jitu

Yeah, ini dia satu lagi tugas mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah alias Logpenil, literature review >,<

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ -------------------
=========================================================
Aturan Mendisiplinkan Anak dengan Baik dan Jitu

Putrie Kusuma Wardhani/1106002583

          Ada banyak jenis pola asuh orang tua, di antaranya authoritarian (autoritarian), authoritative (autoritatif) dan permissive (permisif). Pada pola asuh permisif, orang tua sangat tidak peduli dan tidak akan ambil pusing mencampuri usrusan anak atau hampir selalu ikut ambil peran dalam urusan anak namun hampir tidak pernah menuntut sesuatu dari sang anak. Maka secara sekilas sudah jelas tidak terlihat peluang  anak akan disiplin anak jika orang tua menerapkan pola asuh permisif, selain orang tua dengan pola asuh ini memang tidak mempunyai niatan untuk mendisiplinkan anak. Padahal, disiplin memberi pengaruh yang besar pada hidup manusia. Berlawanan dengan pola asuh permisif, pada pola autoritarian, orang tua membuat suatu keputusan tanpa meminta pendapat dari si anak terlebih dahulu dan menuntut si anak untuk mematuhinya tanpa kompromi, memberlakukan aturan-aturannya secara tegas, dan tidak jarang pula memberi hukuman-hukuman atas pelanggaran yang dilakukan anak. Sebagai konsekuensinya, pada pola ini tidak akan terlihat banyak komunikasi verbal dua arah antara orang tua dengan anak karena ide, gagasan, maupun ketentuan-ketentuan semua berasal dari orang tua. Sesungguhnya orang tua authoritarian cinta dan menginginkan yang terbaik bagi anaknya serta merasa mengerti apa saja yang terbaik dan dibutuhkan anak-anaknya. Pola ini pun memiliki efektivitas yang cukup tinggi dalam hal mendisiplinkan anak. Namun, pola ini dapat berakibat buruk bagi kepribadian dan kondisi psikis anak. Sedangkan pada pola asuh autoriatif, orang tua lebih demokratis dengan memberi kebebasan pada si anak untuk memilih maupun mengutarakan pendapatnya. Meski demikian, mereka tetap memegang kontrol dan kendali karena si anak akan mendapat suatu konsekuensi jika melakukan pelanggaran terhadap suatu kesepakatan. Dibandingkan permisif dan authoritarian, pola asuh ini berdampak lebih baik bagi aspek psikologis anak. Akan tetapi, terkadang ada pula sesuatu hal yang mutlak dirasa harus diterapkan pada si anak, entah si anak merasa senang terhadap hal tersebut ataukah tidak. Hukum agama seperti waktu untuk beribadah contohnya. Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua untuk mendisiplinkan anak sementara terkadang akan menghadapi situasi semacam ini? Haruskah kemudian kita bertindak otoriter? Namun bukankah itu dapat berpengaruh buruk pada kondisi psikologis anak? Timbulnya pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa pembahasan mengenai trik-trik mendisiplinkan anak yang baik bagi aspek psikologis anak namun tetap ampuh berikut menarik untuk dipelajari. Namun sebelumnya, perlu kiranya terlebih dahulu memahami lebih banyak mengenai disiplin itu sendiri.
                Kata disiplin sering disandangkan dengan hukuman. Padahal, disiplin berasal dari bahasa latin yaitu discipulus yang artinya pelajar. Maka sesungguhnya lebih dekat pada pembelajaran ketimbang hukuman. Bentuk paling sederhana dari disiplin ialah kontrol lingkungan. Ketika tahu anak kita tidak dapat duduk tenang di kursi makan lebih dari sepuluh menit, ada baiknya kita tidak mengajaknya ke restoran yang akan membuat kita maupun si anak sama-sama terhindar dari emosi dan frustasi. Richard Templar melalui bukunya “The Rules of Parenting” mengemukakan beberapa trik atau peraturan yang bersahabat namun tetap jitu dalam mendisiplinkan anak.
Cara yang pertama ialah dengan membuat front persatuaan. Kedua orang tua harus memiliki pendapat yang sama mengenai sesuatu hal yang ingin diterapkan pada anak. Jangan sampai ketika si anak menanyakan perihal A sang ayah menjawab ya sedangkan ketika si anak bertanya kepada sang ibu jawaban “tidak” yang ia dapat. Ini tentu akan membuat si anak merasa bingung. “The fact that you agree is more important than what you’re agreeing about” (Templar, 2008, p.77). Artinya, fakta bahwa Anda setuju lebih penting dari apa yang Anda setujui. Maksudnya, ketika sang ayah sudah terlanjur mengatakan “ya” pada anak akan sesuatu hal, kita sebagai ibu cukup mengatakan “ya” pula tanpa perlu mempertimbangkan lebih jauh lagi. Atau ketika kita ditanya terlebih dahulu olaeh anak kita, agar jawaban sama, kita dapat menjawab seperti jika ayah berkata “ya”, maka jawabannya “ya”. Mungkin pernah terpikir jika kita menjawab “tidak” si anak akan  lebih simpati pada kita ketimbang pada ayahnya karena kita tahu si anak sesungguhnya mengharapkan jawaban “tidak”. Namun bukanlah itu yang akan terjadi melainkan baik ayah atau ibunya akan kehilangan respek dan kewibawaan di hadapan si anak.
Cara kedua, ketika si anak melakukan sesuatu hal yang kurang memuaskan, yang lebih baik kita lakukan ialah menawarkan hadiah jika ia bisa lebih berhasil ketimbang mengancam dengan suatu hukuman jika ia gagal lagi. Menurut peneliti modern dan psikolog anak, pemikat lebih efektif dalam mendorong anak untuk bekerjasama dengan kita. Namun tidak semua hal baik yang dilakukan si anak lantas dihargai dengan hadiah. Untuk kebaikan-kebaikan kecil, ucapan teriakasih atau sedikit sanjungan akan membuatnya senang dan melakukan kebaikan itu di lain waktu. Akan tetapi ini tidak berarti juga bahwa kita sama sekali tidak boleh menggunakan ancaman. Kita boleh mengancamnya namun sesungguhnya ancaman itu hanya akan menjadi latar belakang dan tidak akan terlaksana karena si anak sudah dipastikan akan mampu melewati tantangan. Atau bisa juga kita menerapkan pola asuh autoritatif dengan memberi pilihan bagi mereka. Melakukan pelanggaran, kemunduran, atau keburukan dengan konsekuensi hukuman setelahnya atau sebaliknya, menciptakan sebuah kemajuan dan kebaikan dengan kesempatan mendapat hadiah sesudahnya.
Yang ketiga, orang tua haruslah konsisten dengan peraturan yang telah dibuatnya. Jika kemarin mereka tertawa ketika si anak melakukan perbuatan A, ketika hari ini si anak melakukan perbuatan itu kembali, mereka tidak boleh tiba-tiba memperlihatkan ekspresi kesal bahkan langsung memukulnya. Ini dapat membuat si anak bingung bahkan frustasi. Begitu juga ketika orang tua telah menetapkan suatu aturan, mereka tidak boleh menjadi lemah dan justru melanggar aturan yang pernah dibuatnya sendiri bahkan ketika si anak saki,  kondisinya perlu dikasihani, dan orang tua ingin (sekali-kali) melanggarnya sekalipun.
Keempat, meringankan. Ketika suatu ketika di hadapan orang tua si anak melakukan suatu kesalahan fatal namun sesungguhnya itu murni kecelakaan, orang tua perlu meredam amarahnya dan menggantinya dengan ekspresi yang lebih positif, seperti tertawa misalnya. Ini akan membuat suasana lebih menyenangkan dan terjalinnya hubungan baik yang lebih erat pun akan tercipta.
Selanjutnya, kita harus fokus pada masalah, bukan pada individunya. Kita tidak boleh sekali-kali memanggil atau menjuluki anak dengan “si bodoh”, “si nakal”, “si malas”, dsb. Karena ketika kita menjulukinya “si malas” misalnya, ia malah akan berpikir untuk apa dia berusaha, bukankah dia seorang pemalas?  Sebagai gantinya kita dapat menegur kesalahannya dengan “itu hal egois untuk dilakukan” atau “itu kasar untuk dikatakan”. Ketika ada seorang anak yang tampak nakal, prinsipnya dia bukanlah anak nakal, dia anak baik yang melakukan hal nakal. Perbuatannyalah yang perlu kita salahkan, bukan dirinya.
Selain itu, tingkah laku orang tua akan dilihat dan ditiru oleh anak-anak. Maka jika kita marah bahkan memukulnya, anak-anak akan mempersepsikan bahwa marah dan lepas control adalah hal yang diperbolehkan. Terkadang kita menyadari pula bahwa kita telah melakukan kesalahan terhadap si anak. Jika demikian, maka kita tidak perlu ragu untuk meminta maaf kepada anak. Begitu juga, ketika anak melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, kita dapat memaafkannya karena bagi anak yang paling penting adalah mengetahui bahwa prang tuanya masih saying padanya.
Menurut saya, kita tidak boleh kaku dalam menerapkan pola asuh pada anak dan tidak ada seorang pun yang dapat menerapkan seratus persen sempurna suatu pola asuh. Adakalanya kita perlu autoritaif namun adakalanya kita perlu mengggunakan pola asuh otoriritarian namun dengan trik dan aturan-aturan tertentu sehingga kondisi psikologis anak tetap terjamin.

Daftar Pustaka

Kutner, L. (1992). Parent and child: getting through to each other. New York: Avon.
Rohali, Y. A. Pola Pengasuhan dan Gangguan Kepribadian. Retrieved November 15, 2011, from Universitas Esa Unggul: http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=prodi&sid=22&nav=artikel.detail&id=43&title=Pola%20Pengasuhan%20Dan%20Gangguan%20Kepribadian
Templar, R. (2008). The rules of parenting. New Jersey: Clays Ltd.

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ --------------------
=========================================================
Nilai literature review ini: 75
=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ --------------------
=========================================================

welcome to University of Indonesia, a real KAMPUS PERJUANGAN
and
WELCOME to PSYCHOLOGY UI WORLD, Pejuang! XD

=========================================================
---------------------  ^o^  SAY NO to PLAGIARISM! ^o^ --------------------
=========================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar