Jumat, 07 Februari 2014

Guru: Alternatif Empat Sehat Lima Sempurna Bagi Wanita


GURU: ALTERNATIF EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA
ESAI
Disusun guna memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia
kelas dua belas semester satu tahun pelajaran 2010/2011



                                                                                                    

                                                                                                          








oleh
Putrie Kusuma Wardhani
22 / XII.RSBI-1


SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PURWOREJO
2010

GURU: ALTERNATIF EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA
ESAI
Disusun guna memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia
kelas dua belas semester satu tahun pelajaran 2010/2011




                                                                                                    

                                                                                                          








oleh
Putrie Kusuma Wardhani
22 / XII.RSBI-1


SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PURWOREJO
2010

KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., karena hanya atas limpahan rahmat dan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan penulisan esai dengan judul “GURU: ALTERNATIF EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA” ini guna memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas dua belas semester satu tahun pelajaran 2010/2011.
            Penulisan esai ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
  1. Bapak Sunardi, S. Pd., guru Bahasa Indonesia kelas XII.RSBI-1,
  2. Teman-teman kelas XII.RSBI-1,
  3. Ibu dan bapak tercinta,
  4. serta seluruh pihak yang telah membantu penulisan esai ini.
Penulis menyadari bahwa karya esai ini masih  jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Dan semoga esai ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca.


                                                                        Purworejo, 19 November 2010
             Penulis












NYANYIAN KABIR I
                                                                                    Amir Hamzah
Hatiku, hatiku, Sukma segala sukma
Hatiku, hatiku, Guru segala guru
Telah hampir
Bangkit, bangkit hatiku dan kucup
KakiNya
Kaki Guru maha-raya,
Supaya detikan cintamu
Memenuhi seluruh Kaki Gurumu
Tuan tidur, dari abad ke abad
Jagalah, hatiku, jaga
Pada subuh sentosa,
Jika embun menyejuk rumput.
Hendakkah tuan selalu bisu selaku batu,
Hatiku, aduh hatiku?

Guru: Alternatif Empat Sehat Lima Sempurna bagi Wanita


            “Kalian,  kalau sudah besar nanti  ingin jadi apa?”,  tanya sang Ibu Guru pada anak-anak di depannya yang seluruhnya kompak mengenakan seragam merah putih. Lalu terdengarlah berbagai macam warna suara bersahut-sahutan dari seluruh penjuru kelas. “Dokter!” “Dokter!” “Doktel” “Dokterr” “Pilot” ”Doktel” “Pilot” “Polisi” “Dokter” “Pramugari” “Doktel” “Plamugali” “Polisi” “Dokter”. Mendengarnya, sang guru pun hanya tersenyum lalu bertanya kembali, “Nggak ada yang ingin jadi guru nih?”. Dan semua pun terdiam. Hening.
 
 







            Wanita. Berbicara mengenai wanita, maka sebuah rangkaian dari tiga buah huruf yang terdiri dari konsonan “i”, “b”, dan vokal “u” pun akan menjelma menjadi sebuah kata yang secara spontan, langsung dalam hitungan sepersekian detik, dengan begitu saja -diperkenankan- melintas di pikiran kita di samping kata istri, cantik, lemah lembut, amat memberdayakan perasaan, dan lain sebagainya. Dan memang begitulah seorang wanita, sesosok makhluk yang cantik -dan memang lho, tampak sejelek apapun wanita, namun jika dicermati secara lebih jeli, niscaya bakal kita temukan juga sebuah keelokan paras walau entah dari sisi yang mana-, lemah lembut, lebih banyak menggunakan perasaan daripada akal dalam setiap gerak-geriknya, yang suatu saat jika ia menikah ia pun mau tak mau akan menjadi seorang istri -yang tentunya harus patuh pada sang suami­1-, dan yang akan merasakan betapa luar biasanya mengandung sembilan bulan sepuluh hari, berjuang dengan taruhan hidup dan mati manakala melahirkan, kemudian menjadi seorang ibu dengan segala konsekuensinya, seperti kewajibannya untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh -kecuali jika ia maupun suaminya setelah bermusyawarah sepakat dan rela untuk menyapih sang anak­2- dan terutama kewajibannya untuk mendidik, memelihara, dan mengenalkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan, terutama ilmu agama kepada anak-anaknya. Ya, memang itulah sebenarnya kewajiban utama seorang wanita, terkait dengan profesi otomatisnya sebagai seorang ibu. Bukan bekerja, bukan pula mencari nafkah bagi keluarganya. Sebuah hal yang sering terlupakan di era sekarang ini sehingga perlu digaris bawahi dan kiranya perlu pula jika sesekali waktu, di sela-sela kesibukan, kita -baik para ibu maupun calon ibu- sempatkan untuk  mencermati, merenungkan, dan menyadarinya kembali. Menyadari bahwa kita -para wanita- sama sekali tidak diwajibkan untuk membantu sang suami mencari nafkah, bahkan sunah pun juga tidak. Bahwa meninggalkan anak yang sudah pasti sesungguhnya membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari seorang ibu sepanjang hari, berangkat pagi-pagi sebelum si anak bangun tidur, siang, sore, petang, dan baru pulang ketika malam telah larut dengan dalih mencari uang demi masa depan anaknya -juga- sama sekali bukanlah sebuah hal yang dapat dibenarkan. Bagaimanapun juga, seorang anak sangat membutuhkan kasih sayang serta bimbingan dari seorang ibu dan maha suci Allah yang telah meringankan tugas seorang wanita dengan membebankan tugas mencari nafkah kepada pria yang sekali lagi berarti bahwa mencari nafkah bukanlah tugas kita -para wanita-.
            Nah, jika mencermati kasus di atas, maka wanita yang hanya identik dengan anak, bumbu, sambal, dapur, pisau, mengiris-iris, menumbuk, dan memasak sebelum era emansipasi wanita yang diprakarsai R. A. Kartini yang kemudian diabadikan W. R. Supratman dengan lagu “Ibu Kita Kartini”nya  pun sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Karena ya memang begitulah kewajiban seorang wanita.
            Namun demikian, bukan berarti pula bahwa saya setuju dengan aturan yang mengekang dan membatasi wanita dalam menimba ilmu yang menyebabkan mereka tumbuh menjadi sosok yang minimalis, “nriman” sepanjang masa, dan seakan tak pernah diperbolehkan untuk memiliki harapan dan cita-cita tinggi akan masa depan mereka. Sungguh memprihatinkan.
            Akan tetapi, sungguh beruntung wanita Indonesia di era sekarang ini karena pada faktanya, kini laki-laki ataupun perempuan, sebagai warga negara, semua berhak mendapatkan pendidikan3, tanpa terkecuali. Dan rasa bangga pun tak terelakkan lagi ketika saya melihat teman-teman saya –yang juga wanita(perempuan), dan boleh jadi termasuk Anda juga- begitu bersemangat dalam menyelami hari-hari di sekolah, bersaing ketat namun sehat dan berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Penuh harapan dan optimisme akan kesuksesan yang sejengkal demi sejengkal semakin dekat yang suatu saat nanti pasti mampu tergapai, tergenggam erat di tangan. Dan bahkan sepanjang pengamatan saya selama ini, justru para siswilah yang mampu memonopoli dan menduduki peringkat-peringkat teratas dalam sebuah kelas, mengalahkan para siswa -yang pada umumnya lebih cerdas namun masa bodoh- dengan segala usaha dan ketekunannya. Ini merupakan sesuatu yang menakjubkan namun juga merupakan titik awal permasalahan. Bagaimana tidak? Dengan prestasi yang sedemikian rupa itu, seorang siswi pastilah takkan rela berhenti begitu saja seusai lolos dari jenjang tertinggi bagi seorang murid, kelas tiga SMA –terutama di SMA-SMA terfavorit dengan kualitas pendidikan yang tinggi- atau sederajat dan terus maju mengubah statusnya dari siswa menjadi mahasiswa. Dan dengan prestasi yang –umumnya- lebih baik, tentu para siswi –wanita- tadi pun akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk dapat diterima di universitas-universitas terbaik di Indonesia dan tentu saja dengan bekal ijazah dari sebuah universitas ternama, tawaran dan peluang berbagai pekerjaan dengan gaji yang –biasanya- relatif tinggi. Dengan keadaan demikian ini, bagaimana mungkin si siswi tadi lebih memilih menjadi ibu rumah tangga agar dapat berkonsentrasi penuh pada anak-anak mereka kelak?
            Sekali lagi, bekerja –mencari nafkah- bagi seorang wanita –calon istri dan calon ibu- memang sama sekali bukan merupakan suatu kewajiban, bahkan sunah pun tidak. Namun bukan berarti bahwa hal tersebut dilarang. Akan tetapi, mengingat  bahwa kelak seorang wanita bakal menjadi seorang istri juga seorang ibu, seorang wanita pun harus pintar-pintar dalam memilih pekerjaan dan tidak asal lantaran iming-iming gaji yang besar atau sekadar pekerjaan tersebut menyenangkan atau  menantang –bagi seseorang yang suka tantangan- lalu seorang wanita begitu saja langsung memutuskan untuk berkecimpung dalam bidang tersebut. Jika tidak, bisa-bisa seorang wanita justru hanya akan menyandang gelar sukses di antara kegagalan akan kewajibannya –mendidik anak dan mengurus rumah tangga-. Aneh bukan?
            Lalu bagaimana? Adakah sebuah pekerjaan yang cocok bagi seorang wanita yang notabene kelak akan menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak mereka? Jawabannya jelas ada. Bukankah tak ada yang mustahil di dunia ini –jika Dia menghendaki-? Lalu apakah itu? Menjahit ataupun berdagang –dengan mendirikan sebuah warung di sekitar rumah- mungkin memang bisa jadi salah satu alternatifnya dan tidak begitu masalah bagi pelajar yang bisa dikatakan biasa-biasa saja dan tak terlalu ambil pusing akan kehidupannya di masa yang akan datang. Bukannya ingin merendahkan profesi penjahit ataupun pedagang –karena tanpa mereka saya pun pasti bakal kesulitan dalam mendayagunakan bahan seragam yang telah dibagi oleh pihak sekolah pada tahun ajaran baru dan kesulitan mencari minyak tanah ataupun sayuran juga kebingungan saat menyadari bahwa persediaan sabun mandi telah habis, ya, semua pekerjaan sejatinya memang sama pentingnya-. Namun –saya pikir- apakah seorang siswi dari sebuah sekolah terfavorit di kotanya dan mampu melanjutkan di universitas ternama  di negaranya bersedia kursus lalu menjadi seorang penjahit atau mencari pinjaman modal lalu membuka warung di sekitar rumah –sekalipun dengan pekerjaan tersebut, peluang untuk mendapatkan ratusan ribu rupiah per harinya tetap terbuka lebar-? Sepertinya tidak.
            Mengamati masalah ini, saya –sebagai seorang siswi pula- sempat “menderita” kebingungan juga, hingga akhirnya melayang di otak saya sebuah kata yang menunjukkan sebuah profesi yang cukup familier bagi saya –bagaimana tidak? Enam dari tujuh hari saya selalu berhubungan intensif dengan orang-orang yang menyandang profesi itu kata-, : guru.
            Guru, walaupun bukan profesi dambaan utama seperti halnya dokter, bagaimanapun juga merupakan profesi yang mulia dan masih mendapat lumayan jatah tempat di hati –tetap disegani dan dihormati- masyarakat Indonesia, apalagi di daerah pedesaan. Dan profesi guru bagi seorang wanita alias calon istri dan calon ibu, kiranya sangat oke dan sesuai, bagai menu komplit dalam sebuah hidangan makanan.
            Menu pertama, pengaturan waktu yang paling sempurna dibandingkan dengan profesi lain. Guru merupakan sebuah profesi dengan jam kerja yang pas, tidak terlalu lama dan jika memang diinginkan tidak akan menghabiskan waktu lebih dari enam jam seorang ibu. Jadi, seorang ibu guru, seorang ibu yang merangkap jadi seorang guru, masih memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi bersama putra-putri mereka di rumah sehingga tetap dapat mendidik dan mengawasi serta mengontrol perkembangan sang buah hati. Dan ketika mereka tiba di rumah kembali, waktu bebas sepenuhnya untuk mereka, terserah, akan digunakan untuk beristirahat, mencuci, bermain bersama sang buah hati, dll. tanpa gangguan. Tidak seperti dokter atau petugas pemadam kebakaran yang sewaktu-waktu diperlukan akan dihubungi dan harus selalu siap dan bersedia menjalankan tugas, walau ketika itu ia tengah tertidur lelap di larut malam.
Selain jam kerja yang tak terlalu lama, waktu kerja pun begitu pas dan klop dengan sang anak, terutama jika mereka masih dalam usia sekolah. Dan memang itulah waktu utama seorang ibu wajib menyertai benar perkembangan sang anak, kalau sudah mulai kuliah sih, anak tentu sudah dapat mandiri, menjalani hidup tanpa perlu banyak campur tangan orang tua. Sang ibu baru akan berangkat ke kantor ketika sang anak sudah berangkat, jadi si dapat dikatakan tidak meninggalkan si anak karena sang anaklah yang meninggalkan rumah terlebih dahulu atau justru mereka dapat berangkat bersama-sama jika letak sekolah sejalur atau bahkan sama. Ini tentu akan menambah keakraban mereka. Dan ketika si anak telah pulang dan sampai di rumah kembali, minimal si anak hanya perlu menunggu sebentar saja hingga sang ibu pulang. Dan sebagai seorang guru ketika tanggal-tanggal merah dan siswanya libur tentu ia berhak libur untuk juga. Karena sang anak pun seorang siswa, maka ketika sang anak libur sang ibu pun dapat menemaninya selama waktu-waktu liburannya atau jika ingin mengajak sang anak berlibur ke suatu objek wisata baik di kotanya maupun di luar kota secara berkala pun mungkin-mungkin saja. Hal demikian ini walau tampaknya tak seberapa namun dapat berdampak luar biasa, baik bagi ketenteraman keluarga dan rumah tangga maupun kemajuan bangsa dan negara mengingat banyak pula pertikaian dalam rumah tangga berawal dari si anak yang banyak tingkah yang mengakibatkan terjadinya sebuah keadaan yang dalam peribahasa bahasa Jawanya anak polah bapak kepradah serta hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penyebab banyaknya kenakalan anak maupun remaja sebagian besar karena kurangnya perhatian dari orang tua.
Seorang guru wanita pun ketika mengandung menjelang melahirkan misalnya, sesuai yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru berhak mendapatkan cuti studi hingga beberapa waktu setelah melahirkan.
Sebuah nilai plus lagi, seorang guru tak perlu mengkhawatirkan tentang pengaturan waktu. Sebuah sekolah –umum-, tak mungkin mengadakan KBM tanpa henti dari subuh hingga magrib. Jikalau sekolah tempat ia mengajar dimulai pukul tujuh dan baru akan bubar pukul lima sore, pasti ada suatu waktu bebas antara pukul 12.00 hingga 14.00 dan antara pukul 14.30 hingga 17.00, waktu-waktu menunaikan salat bagi kaum muslim dan muslimat. Dan seketat-ketatnya sebuah sekolah, tidak akan deh mengadakan kegiatan wajib sekitar pukul 12.00 pada hari Jumat atau tidak meliburkan siswa - siswi sekaligus gurunya pada hari Minggu dan setiap hari besar keagamaan. Jadi, seorang guru tidak perlu mengkhawatirkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Dan jangankan ibadah-ibadah wajib, ibadah sunah seperti salat dhuha misalnya pun bagi seorang guru jika memang mau bisa-bisa saja dilaksanakan setiap hari, saat tak ada jatah mengajar atau pada saat jam istirahat.
Menu kedua, seorang guru mengabdi pada bangsa dan negara setiap harinya. Dalam hal ini, guru memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter generasi-generasi muda penerus bangsa. Dan dengan tekad yang kuat, semangat yang berkobar, hati yang bersih, dan rasa tulus ikhlas serta keahlian dan profesionalitas yang dimilikinya, seorang guru senantiasa memiliki peluang yang besar untuk dapat menyumbangkan sesuatu yang besar bagi negara tercinta dengan jalan menyisipkan dan menanamkan nilai-nilai luhur pada setiap peserta didiknya. Dengan mencanangkan kerja kelompok misalnya, akan membentuk karakter manusia yang tidak egois dan individualistis serta menanamkan arti kerja sama dan gotong-royong. Presentasi per kelompok dan diskusi antar kelompok dengan tanya jawab dan saling mengemukakan pendapat secara bebas tanpa ada penilaian benar dan salah –karena yang lebih dipentingkan adalah argumen dari pernyataan yang dilontarkan-, dapat menjadi sarana pembentukan karakter generasi penerus yang kritis, demokratis, saling menghargai, peka, dan tanggap. Itu baru dua contoh dan masih ada ribuan cara lagi yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk mendidik siswanya akan nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan lain sebagainya. Bukankah kewajiban seorang guru bukan hanya mengajar melainkan juga mendidik? Bahkan seorang siswa saja dinamakan peserta didik dan bukannya peserta ajar.
Menu ketiga, seorang guru tak kalah terkenal dari selebritas terkenal. Setahun sekali, seiring dengan bergantinya tahun ajaran menjadi tahun ajaran baru, peserta didik pun bakal ikut baru juga. Dan bayangkan, jika seorang guru dalam sebuah tahun pelajaran mengajar misalnya katakanlah tujuh kelas berbeda dan misalnya setiap kelas berjumlah dua puluh saja, sudah berapa orangkah yang mengenalnya? Belum lagi jika ia telah mengajar belasan tahun, maka jumlah yang mengenalnya pun dikalikan berapa tahun ia telah mengajar. Terlebih jika sang wali murid pun turut mengenal sang guru –karena pernah bercakap-cakap ketika pengambilan rapor misalnya-, sudah berapa ribu saja orang yang mengenalnya di dunia luar sana? Dan tentu saja bagaimanapun juga rasa bahagia dan bangga pun akan sering mampir di hati seorang guru ketika di pasar, di terminal, di bank, di rumah sakit, di toko, di sebuah resepsi pernikahan seseorang, di perempatan jalan, dan bahkan di depan toilet umum sekalipun, ketika ada sesosok manusia yang tiba-tiba datang menghampiri dan dengan hormatnya mencium tangan sang guru dan bercerita bahwa ia adalah anak didiknya angkatan sekian yang sekarang sudah menjadi ini dan itu, sukses di sini dan di sana yang itu semua tentu tak lepas dari peran seorang guru. Ya, guru itu, terkenal, dikenal, dan banyak kenalan. Dan bahkan tak jarang anak dari seorang guru itu pun ikut kecipratan dikenal juga –ini berdasarkan pengalaman saya sebagai anak seorang guru juga-. Dan lagi, banyak kenalan, banyak rezeki juga lho. Tak percaya? Buktikan saja!
Menu keempat, seorang guru tak akan pernah punya potensi untuk bangkrut seperti halnya pengusaha dan merupakan sebuah kabar gembira karena sejak tahun 2006 lalu ada sebuah istilah sertifikasi bagi guru –pegawai negeri- yang tentunya akan meningkatkan penghasilan seorang guru secara drastis. Selain itu, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 lagi, seorang guru pun berhak mendapat masalahat tambahan dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, atau penghargaan bagi guru, kemudahan memperoleh pendidikan bagi putra dan/atau putri guru, pelayanan kesehatan –askes-, atau bentuk kesejahteraan lain –yang masih banyak lagi-.
Dan menu kelima, inilah yang terpenting, ilmu yang bermanfaat. Seperti yang telah kita ketahui, kita sebagai manusia cepat atau lambat pasti akan meninggalkan dunia yang fana ini, dan terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara: amal jariah, ilmu yang berguna, dan doa anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Dan seorang guru, dengan ilmu yang dimiliki dan tugasnya baik sebagai pengajar maupun pendidik tentunya memiliki peluang yang besar untuk menyalurkan ilmunya pada anak didiknya sebagai ilmu yang bermanfaat sebagai bekal yang senantiasa dapat bertambah, untuk menjalani kehidupan di alam sana setelah dia menghadap-Nya.
Memang, ternyata di balik kesederhanaan yang tampak, begitu banyak hal-hal luar biasa yang bisa didapat dan diperbuat oleh seorang guru. Maka, khususnya bagi seorang wanita, jadi guru, mengapa tidak?




























Catatan kaki:
1 Kepentingan istri menaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi  saw. : “Seandainya diperbolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya (H. R. Timidzi).

2 Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q. S. Al Baqarah;233).

3  Lihat pasal 31 ayat 1 : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.  













BIODATA PENULIS

Nama                           : Putrie Kusuma Wardhani
Tempat, tanggal lahir  : Purworejo, 6 September 1993
Alamat rumah             : Kroyo, RT 01 RW 01, Gebang, Purworejo
Hobi                            : chatting online, membaca novel
Buku favorit                : Pudarnya Pesona Cleopatra
                                      Dua Belas Pendar Bintang
Riwayat pendidikan    : SD Negeri Purworejo
                                      SMP Negeri 2 Purworejo
                                      SMA Negeri 1 Purworejo

***

Nahh, kalau ini baru deh tugas SMA yang nggak copas ;D yang ini dari hati tjoooy *citacitayangterpendam* *kkk*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar