GURU: ALTERNATIF EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA
ESAI
Disusun guna
memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia
kelas dua belas
semester satu tahun pelajaran 2010/2011
oleh
Putrie Kusuma Wardhani
22 / XII.RSBI-1
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PURWOREJO
2010
GURU: ALTERNATIF EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA
ESAI
Disusun guna
memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia
kelas dua belas
semester satu tahun pelajaran 2010/2011
oleh
Putrie Kusuma Wardhani
22 / XII.RSBI-1
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PURWOREJO
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah swt., karena hanya atas limpahan rahmat dan karunia-Nyalah,
penulis dapat menyelesaikan penulisan esai dengan judul “GURU: ALTERNATIF EMPAT
SEHAT LIMA SEMPURNA BAGI WANITA” ini guna memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa
Indonesia kelas dua belas semester satu tahun pelajaran 2010/2011.
Penulisan esai ini tentunya tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
- Bapak Sunardi, S. Pd., guru Bahasa Indonesia kelas XII.RSBI-1,
- Teman-teman kelas XII.RSBI-1,
- Ibu dan bapak tercinta,
- serta seluruh pihak yang telah membantu penulisan esai ini.
Penulis
menyadari bahwa karya esai ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharap kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca. Dan semoga esai ini dapat
bermanfaat bagi segenap pembaca.
Purworejo,
19 November 2010
Penulis
NYANYIAN KABIR I
Amir Hamzah
Hatiku,
hatiku, Sukma segala sukma
Hatiku, hatiku, Guru segala guru
Telah hampir
Bangkit, bangkit hatiku dan kucup
KakiNya
Kaki Guru maha-raya,
Supaya detikan cintamu
Memenuhi seluruh Kaki Gurumu
Tuan tidur, dari abad ke abad
Jagalah, hatiku, jaga
Pada subuh sentosa,
Jika embun menyejuk rumput.
Hendakkah tuan selalu bisu selaku batu,
Hatiku, aduh hatiku?
Hatiku, hatiku, Guru segala guru
Telah hampir
Bangkit, bangkit hatiku dan kucup
KakiNya
Kaki Guru maha-raya,
Supaya detikan cintamu
Memenuhi seluruh Kaki Gurumu
Tuan tidur, dari abad ke abad
Jagalah, hatiku, jaga
Pada subuh sentosa,
Jika embun menyejuk rumput.
Hendakkah tuan selalu bisu selaku batu,
Hatiku, aduh hatiku?
Guru: Alternatif Empat Sehat Lima Sempurna bagi Wanita
|
Wanita. Berbicara mengenai wanita,
maka sebuah rangkaian dari tiga buah huruf yang terdiri dari konsonan “i”, “b”,
dan vokal “u” pun akan menjelma menjadi sebuah kata yang secara spontan,
langsung dalam hitungan sepersekian detik, dengan begitu saja -diperkenankan-
melintas di pikiran kita di samping kata istri, cantik, lemah lembut, amat
memberdayakan perasaan, dan lain sebagainya. Dan memang begitulah seorang
wanita, sesosok makhluk yang cantik -dan memang lho, tampak sejelek apapun
wanita, namun jika dicermati secara lebih jeli, niscaya bakal kita temukan juga
sebuah keelokan paras walau entah dari sisi yang mana-, lemah lembut, lebih
banyak menggunakan perasaan daripada akal dalam setiap gerak-geriknya, yang
suatu saat jika ia menikah ia pun mau tak mau akan menjadi seorang istri -yang
tentunya harus patuh pada sang suami1-, dan yang akan merasakan betapa luar
biasanya mengandung sembilan bulan sepuluh hari, berjuang dengan taruhan hidup
dan mati manakala melahirkan, kemudian menjadi seorang ibu dengan segala
konsekuensinya, seperti kewajibannya untuk menyusui anaknya selama dua tahun
penuh -kecuali jika ia maupun suaminya setelah bermusyawarah sepakat dan rela
untuk menyapih sang anak2- dan terutama kewajibannya untuk mendidik,
memelihara, dan mengenalkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan, terutama ilmu
agama kepada anak-anaknya. Ya, memang itulah sebenarnya kewajiban utama seorang
wanita, terkait dengan profesi otomatisnya sebagai seorang ibu. Bukan bekerja,
bukan pula mencari nafkah bagi keluarganya. Sebuah hal yang sering terlupakan
di era sekarang ini sehingga perlu digaris bawahi dan kiranya perlu pula jika
sesekali waktu, di sela-sela kesibukan, kita -baik para ibu maupun calon ibu-
sempatkan untuk mencermati, merenungkan,
dan menyadarinya kembali. Menyadari bahwa kita -para wanita- sama sekali tidak
diwajibkan untuk membantu sang suami mencari nafkah, bahkan sunah pun juga
tidak. Bahwa meninggalkan anak yang sudah pasti sesungguhnya membutuhkan
perhatian dan kasih sayang yang lebih dari seorang ibu sepanjang hari,
berangkat pagi-pagi sebelum si anak bangun tidur, siang, sore, petang, dan baru
pulang ketika malam telah larut dengan dalih mencari uang demi masa depan
anaknya -juga- sama sekali bukanlah sebuah hal yang dapat dibenarkan.
Bagaimanapun juga, seorang anak sangat membutuhkan kasih sayang serta bimbingan
dari seorang ibu dan maha suci Allah yang telah meringankan tugas seorang
wanita dengan membebankan tugas mencari nafkah kepada pria yang sekali lagi
berarti bahwa mencari nafkah bukanlah tugas kita -para wanita-.
Nah, jika mencermati kasus di atas,
maka wanita yang hanya identik dengan anak, bumbu, sambal, dapur, pisau,
mengiris-iris, menumbuk, dan memasak sebelum era emansipasi wanita yang
diprakarsai R. A. Kartini yang kemudian diabadikan W. R. Supratman dengan lagu
“Ibu Kita Kartini”nya pun sebenarnya
tidak sepenuhnya salah. Karena ya memang begitulah kewajiban seorang wanita.
Namun demikian, bukan berarti pula
bahwa saya setuju dengan aturan yang mengekang dan membatasi wanita dalam
menimba ilmu yang menyebabkan mereka tumbuh menjadi sosok yang minimalis,
“nriman” sepanjang masa, dan seakan tak pernah diperbolehkan untuk memiliki harapan
dan cita-cita tinggi akan masa depan mereka. Sungguh memprihatinkan.
Akan tetapi, sungguh beruntung wanita
Indonesia di era sekarang ini karena pada faktanya, kini laki-laki ataupun
perempuan, sebagai warga negara, semua berhak mendapatkan pendidikan3,
tanpa terkecuali. Dan rasa bangga pun tak terelakkan lagi ketika saya melihat
teman-teman saya –yang juga wanita(perempuan), dan boleh jadi termasuk Anda
juga- begitu bersemangat dalam menyelami hari-hari di sekolah, bersaing ketat
namun sehat dan berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Penuh harapan dan
optimisme akan kesuksesan yang sejengkal demi sejengkal semakin dekat yang suatu
saat nanti pasti mampu tergapai, tergenggam erat di tangan. Dan bahkan
sepanjang pengamatan saya selama ini, justru para siswilah yang mampu
memonopoli dan menduduki peringkat-peringkat teratas dalam sebuah kelas,
mengalahkan para siswa -yang pada umumnya lebih cerdas namun masa bodoh- dengan
segala usaha dan ketekunannya. Ini merupakan sesuatu yang menakjubkan namun
juga merupakan titik awal permasalahan. Bagaimana tidak? Dengan prestasi yang
sedemikian rupa itu, seorang siswi pastilah takkan rela berhenti begitu saja
seusai lolos dari jenjang tertinggi bagi seorang murid, kelas tiga SMA
–terutama di SMA-SMA terfavorit dengan kualitas pendidikan yang tinggi- atau
sederajat dan terus maju mengubah statusnya dari siswa menjadi mahasiswa. Dan
dengan prestasi yang –umumnya- lebih baik, tentu para siswi –wanita- tadi pun
akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk dapat diterima di
universitas-universitas terbaik di Indonesia dan tentu saja dengan bekal ijazah
dari sebuah universitas ternama, tawaran dan peluang berbagai pekerjaan dengan
gaji yang –biasanya- relatif tinggi. Dengan keadaan demikian ini, bagaimana
mungkin si siswi tadi lebih memilih menjadi ibu rumah tangga agar dapat
berkonsentrasi penuh pada anak-anak mereka kelak?
Sekali lagi, bekerja –mencari
nafkah- bagi seorang wanita –calon istri dan calon ibu- memang sama sekali
bukan merupakan suatu kewajiban, bahkan sunah pun tidak. Namun bukan berarti
bahwa hal tersebut dilarang. Akan tetapi, mengingat bahwa kelak seorang wanita bakal menjadi
seorang istri juga seorang ibu, seorang wanita pun harus pintar-pintar dalam
memilih pekerjaan dan tidak asal lantaran iming-iming gaji yang besar atau
sekadar pekerjaan tersebut menyenangkan atau
menantang –bagi seseorang yang suka tantangan- lalu seorang wanita
begitu saja langsung memutuskan untuk berkecimpung dalam bidang tersebut. Jika
tidak, bisa-bisa seorang wanita justru hanya akan menyandang gelar sukses di
antara kegagalan akan kewajibannya –mendidik anak dan mengurus rumah tangga-.
Aneh bukan?
Lalu bagaimana? Adakah sebuah
pekerjaan yang cocok bagi seorang wanita yang notabene kelak akan menjadi
seorang istri dan ibu bagi anak-anak mereka? Jawabannya jelas ada. Bukankah tak
ada yang mustahil di dunia ini –jika Dia menghendaki-? Lalu apakah itu?
Menjahit ataupun berdagang –dengan mendirikan sebuah warung di sekitar rumah-
mungkin memang bisa jadi salah satu alternatifnya dan tidak begitu masalah bagi
pelajar yang bisa dikatakan biasa-biasa saja dan tak terlalu ambil pusing akan
kehidupannya di masa yang akan datang. Bukannya ingin merendahkan profesi
penjahit ataupun pedagang –karena tanpa mereka saya pun pasti bakal kesulitan dalam
mendayagunakan bahan seragam yang telah dibagi oleh pihak sekolah pada tahun
ajaran baru dan kesulitan mencari minyak tanah ataupun sayuran juga kebingungan
saat menyadari bahwa persediaan sabun mandi telah habis, ya, semua pekerjaan
sejatinya memang sama pentingnya-. Namun –saya pikir- apakah seorang siswi dari
sebuah sekolah terfavorit di kotanya dan mampu melanjutkan di universitas ternama di negaranya bersedia kursus lalu menjadi
seorang penjahit atau mencari pinjaman modal lalu membuka warung di sekitar
rumah –sekalipun dengan pekerjaan tersebut, peluang untuk mendapatkan ratusan
ribu rupiah per harinya tetap terbuka lebar-? Sepertinya tidak.
Mengamati masalah ini, saya –sebagai
seorang siswi pula- sempat “menderita” kebingungan juga, hingga akhirnya
melayang di otak saya sebuah kata yang menunjukkan sebuah profesi yang cukup
familier bagi saya –bagaimana tidak? Enam dari tujuh hari saya selalu berhubungan
intensif dengan orang-orang yang menyandang profesi itu kata-, : guru.
Guru, walaupun bukan profesi dambaan
utama seperti halnya dokter, bagaimanapun juga merupakan profesi yang mulia dan
masih mendapat lumayan jatah tempat di hati –tetap disegani dan dihormati-
masyarakat Indonesia, apalagi di daerah pedesaan. Dan profesi guru bagi seorang
wanita alias calon istri dan calon ibu, kiranya sangat oke dan sesuai, bagai
menu komplit dalam sebuah hidangan makanan.
Menu pertama, pengaturan waktu yang
paling sempurna dibandingkan dengan profesi lain. Guru merupakan sebuah profesi
dengan jam kerja yang pas, tidak terlalu lama dan jika memang diinginkan tidak
akan menghabiskan waktu lebih dari enam jam seorang ibu. Jadi, seorang ibu
guru, seorang ibu yang merangkap jadi seorang guru, masih memiliki waktu yang
cukup untuk berinteraksi bersama putra-putri mereka di rumah sehingga tetap
dapat mendidik dan mengawasi serta mengontrol perkembangan sang buah hati. Dan
ketika mereka tiba di rumah kembali, waktu bebas sepenuhnya untuk mereka,
terserah, akan digunakan untuk beristirahat, mencuci, bermain bersama sang buah
hati, dll. tanpa gangguan. Tidak seperti dokter atau petugas pemadam kebakaran
yang sewaktu-waktu diperlukan akan dihubungi dan harus selalu siap dan bersedia
menjalankan tugas, walau ketika itu ia tengah tertidur lelap di larut malam.
Selain
jam kerja yang tak terlalu lama, waktu kerja pun begitu pas dan klop dengan
sang anak, terutama jika mereka masih dalam usia sekolah. Dan memang itulah
waktu utama seorang ibu wajib menyertai benar perkembangan sang anak, kalau
sudah mulai kuliah sih, anak tentu
sudah dapat mandiri, menjalani hidup tanpa perlu banyak campur tangan orang
tua. Sang ibu baru akan berangkat ke kantor ketika sang anak sudah berangkat,
jadi si dapat dikatakan tidak meninggalkan si anak karena sang anaklah yang
meninggalkan rumah terlebih dahulu atau justru mereka dapat berangkat
bersama-sama jika letak sekolah sejalur atau bahkan sama. Ini tentu akan
menambah keakraban mereka. Dan ketika si anak telah pulang dan sampai di rumah
kembali, minimal si anak hanya perlu menunggu sebentar saja hingga sang ibu
pulang. Dan sebagai seorang guru ketika tanggal-tanggal merah dan siswanya
libur tentu ia berhak libur untuk juga. Karena sang anak pun seorang siswa,
maka ketika sang anak libur sang ibu pun dapat menemaninya selama waktu-waktu
liburannya atau jika ingin mengajak sang anak berlibur ke suatu objek wisata
baik di kotanya maupun di luar kota secara berkala pun mungkin-mungkin saja.
Hal demikian ini walau tampaknya tak seberapa namun dapat berdampak luar biasa,
baik bagi ketenteraman keluarga dan rumah tangga maupun kemajuan bangsa dan
negara mengingat banyak pula pertikaian dalam rumah tangga berawal dari si anak
yang banyak tingkah yang mengakibatkan terjadinya sebuah keadaan yang dalam
peribahasa bahasa Jawanya anak polah
bapak kepradah serta hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penyebab
banyaknya kenakalan anak maupun remaja sebagian besar karena kurangnya
perhatian dari orang tua.
Seorang
guru wanita pun ketika mengandung menjelang melahirkan misalnya, sesuai yang
tertera dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru berhak mendapatkan cuti
studi hingga beberapa waktu setelah melahirkan.
Sebuah
nilai plus lagi, seorang guru tak perlu mengkhawatirkan tentang pengaturan
waktu. Sebuah sekolah –umum-, tak mungkin mengadakan KBM tanpa henti dari subuh
hingga magrib. Jikalau sekolah tempat ia mengajar dimulai pukul tujuh dan baru
akan bubar pukul lima sore, pasti ada suatu waktu bebas antara pukul 12.00
hingga 14.00 dan antara pukul 14.30 hingga 17.00, waktu-waktu menunaikan salat
bagi kaum muslim dan muslimat. Dan seketat-ketatnya sebuah sekolah, tidak akan deh mengadakan kegiatan wajib sekitar
pukul 12.00 pada hari Jumat atau tidak meliburkan siswa - siswi sekaligus
gurunya pada hari Minggu dan setiap hari besar keagamaan. Jadi, seorang guru
tidak perlu mengkhawatirkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang hamba. Dan jangankan ibadah-ibadah wajib, ibadah sunah seperti salat
dhuha misalnya pun bagi seorang guru jika memang mau bisa-bisa saja
dilaksanakan setiap hari, saat tak ada jatah mengajar atau pada saat jam
istirahat.
Menu
kedua, seorang guru mengabdi pada bangsa dan negara setiap harinya. Dalam hal
ini, guru memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter
generasi-generasi muda penerus bangsa. Dan dengan tekad yang kuat, semangat
yang berkobar, hati yang bersih, dan rasa tulus ikhlas serta keahlian dan
profesionalitas yang dimilikinya, seorang guru senantiasa memiliki peluang yang
besar untuk dapat menyumbangkan sesuatu yang besar bagi negara tercinta dengan
jalan menyisipkan dan menanamkan nilai-nilai luhur pada setiap peserta
didiknya. Dengan mencanangkan kerja kelompok misalnya, akan membentuk karakter
manusia yang tidak egois dan individualistis serta menanamkan arti kerja sama
dan gotong-royong. Presentasi per kelompok dan diskusi antar kelompok dengan
tanya jawab dan saling mengemukakan pendapat secara bebas tanpa ada penilaian
benar dan salah –karena yang lebih dipentingkan adalah argumen dari pernyataan
yang dilontarkan-, dapat menjadi sarana pembentukan karakter generasi penerus
yang kritis, demokratis, saling menghargai, peka, dan tanggap. Itu baru dua
contoh dan masih ada ribuan cara lagi yang dapat dilakukan oleh seorang guru
untuk mendidik siswanya akan nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan
lain sebagainya. Bukankah kewajiban seorang guru bukan hanya mengajar melainkan
juga mendidik? Bahkan seorang siswa saja dinamakan peserta didik dan bukannya
peserta ajar.
Menu
ketiga, seorang guru tak kalah terkenal dari selebritas terkenal. Setahun
sekali, seiring dengan bergantinya tahun ajaran menjadi tahun ajaran baru,
peserta didik pun bakal ikut baru juga. Dan bayangkan, jika seorang guru dalam
sebuah tahun pelajaran mengajar misalnya katakanlah tujuh kelas berbeda dan misalnya
setiap kelas berjumlah dua puluh saja, sudah berapa orangkah yang mengenalnya?
Belum lagi jika ia telah mengajar belasan tahun, maka jumlah yang mengenalnya
pun dikalikan berapa tahun ia telah mengajar. Terlebih jika sang wali murid pun
turut mengenal sang guru –karena pernah bercakap-cakap ketika pengambilan rapor
misalnya-, sudah berapa ribu saja orang yang mengenalnya di dunia luar sana?
Dan tentu saja bagaimanapun juga rasa bahagia dan bangga pun akan sering mampir
di hati seorang guru ketika di pasar, di terminal, di bank, di rumah sakit, di
toko, di sebuah resepsi pernikahan seseorang, di perempatan jalan, dan bahkan
di depan toilet umum sekalipun, ketika ada sesosok manusia yang tiba-tiba
datang menghampiri dan dengan hormatnya mencium tangan sang guru dan bercerita
bahwa ia adalah anak didiknya angkatan sekian yang sekarang sudah menjadi ini
dan itu, sukses di sini dan di sana yang itu semua tentu tak lepas dari peran
seorang guru. Ya, guru itu, terkenal, dikenal, dan banyak kenalan. Dan bahkan
tak jarang anak dari seorang guru itu pun ikut kecipratan dikenal juga –ini
berdasarkan pengalaman saya sebagai anak seorang guru juga-. Dan lagi, banyak
kenalan, banyak rezeki juga lho. Tak
percaya? Buktikan saja!
Menu
keempat, seorang guru tak akan pernah punya potensi untuk bangkrut seperti
halnya pengusaha dan merupakan sebuah kabar gembira karena sejak tahun 2006
lalu ada sebuah istilah sertifikasi bagi guru –pegawai negeri- yang tentunya
akan meningkatkan penghasilan seorang guru secara drastis. Selain itu,
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 lagi, seorang guru pun
berhak mendapat masalahat tambahan dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi
pendidikan, beasiswa, atau penghargaan bagi guru, kemudahan memperoleh pendidikan
bagi putra dan/atau putri guru, pelayanan kesehatan –askes-, atau bentuk
kesejahteraan lain –yang masih banyak lagi-.
Dan
menu kelima, inilah yang terpenting, ilmu yang bermanfaat. Seperti yang telah
kita ketahui, kita sebagai manusia cepat atau lambat pasti akan meninggalkan
dunia yang fana ini, dan terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara: amal
jariah, ilmu yang berguna, dan doa anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Dan
seorang guru, dengan ilmu yang dimiliki dan tugasnya baik sebagai pengajar
maupun pendidik tentunya memiliki peluang yang besar untuk menyalurkan ilmunya
pada anak didiknya sebagai ilmu yang bermanfaat sebagai bekal yang senantiasa
dapat bertambah, untuk menjalani kehidupan di alam sana setelah dia
menghadap-Nya.
Memang,
ternyata di balik kesederhanaan yang tampak, begitu banyak hal-hal luar biasa
yang bisa didapat dan diperbuat oleh seorang guru. Maka, khususnya bagi seorang
wanita, jadi guru, mengapa tidak?
Catatan kaki:
1 Kepentingan istri menaati suaminya, telah
disabdakan oleh Nabi saw. : “Seandainya diperbolehkan sujud sesama
manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya (H. R.
Timidzi).
2 Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q. S. Al Baqarah;233).
3 Lihat pasal 31 ayat 1 : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
BIODATA PENULIS
Nama :
Putrie Kusuma Wardhani
Tempat, tanggal lahir : Purworejo, 6
September 1993
Alamat rumah : Kroyo, RT
01 RW 01, Gebang, Purworejo
Hobi : chatting online, membaca novel
Buku favorit : Pudarnya Pesona Cleopatra
Dua Belas Pendar Bintang
Riwayat pendidikan : SD Negeri
Purworejo
SMP Negeri 2 Purworejo
SMA Negeri 1 Purworejo
***
Nahh, kalau ini baru deh tugas SMA yang nggak copas ;D yang ini dari hati tjoooy *citacitayangterpendam* *kkk*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar