ANALISIS STRUKTURAL
PUISI TRAGEDI WINKA DAN SIHKA
ULANGAN BAHASA INDONESIA SEMESTER 2
Oleh
Putrie Kusuma Wardhani
(22/XII.RSBI-1)
Sekolah Menengah Atas 1 Purworejo
2011
ANALISIS STRUKTURAL PUISI TRAGEDI WINKA DAN SIHKA
à Teori Struktural
Pradopo (2000: 118) menyatakan bahwa analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan erat, saling menentukan artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya.
I.A. Richards (dalam Waluyo, 1995: 27) mengemukakan metode puisi dan hakikat puisi. Hakikat puisi adalah unsur hakiki yang menjiwai puisi, sedangkan medium bagaimana hakikat itu diungkapkan disebut metode. Metode puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, majas, rima dan ritma, sedangkan hakikat puisi terdiri dari tema, nada, perasaan, dan amanat.
- METODE PUISI (STRUKTUR FISIK)
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan perbendaharaan kata, urutan kata dan daya sugesti kata (Waluyo, 1995: 72).
Dalam Tragedi Winka & Sihka hanya dapat ditemui empat suku kata: ka, win, sih, dan Ku. Dengan keempat suku kata tersebut, dengan cara unik Sutardji, terbentuklah delapan kata: kawin, winka, sihka, ka, win, sih, dan Ku yang beberapa di antaranya merupakan kata-kata baru hasil pembebasan kata oleh Sutardji yang dalam hal ini adalah dengan membiarkan kata membolak-balikkan dirinya dan alhasil tentu saja tidak akan kita temukan kata tersebut jika kita mencarinya di kamus dan kata baru tersebut pun memiliki makna tersendiri. Dan logika pemaknaannya dimungkinkan sebagai berikut: ketika sebuah kata utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya pun sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya. Contohnya, kata Tuhan kalau dibalik menjadi hantu, artinya berlawanan. Tuhan itu sesembahan manusia, hantu itu musuh manusia. Tuhan itu Maha Pengasih, hantu itu jahat. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” yang karena suatu ujian hidup dsb. tidak bisa dipertahankan lagi hingga berubah menjadi winka dan sihka (perceraian dan kebencian) dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka. Cobaan itu kembali datang yang benar-benar memisahkan antara ka dan sih. Keduanya benar-benar hidup sendiri yang akhirnya perkawinan tersebut berujung pada sebuah kematian.
2) Pengimajian
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan indera penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
3) Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menuju pada arti yang menyeluruh. Kata yang diperkonkret erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang (Waluyo, 1995: 81). Hal ini biasanya terbentuk menjadi suatu narasi.
Pada puisi ini, pengulangan kata “kawin” dari baris pertama hingga kelima lalu dilanjutkan baris selanjutnya masing-masing ka, win, ka, win dan seterusnya kiranya menunjukkan pada kita akan sebuah perjalanan kehidupan yang berawal dari sebuah perkawinan.
4) Bahasa figuratif
I.A Richard menyatakan (dalam waluyo, 1995: 83-86) bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu dengan secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.
Namun dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka ini tampaknya tidaklah mengandung bahasa figuratif. Sebaliknya, untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, pengarang membolak-balikkan kata sehingga tersiratlah suatu makna tersendiri sesuai dengan yang diungkapkan oleh pengarang sendiri bahwa ia ingin “membebaskan kata”. Menurutnya, kata-kata dapat menciptakan, menemukan kemauan, dan bermain dengan dirinya sendiri dan terciptalah suatu kreativitas, salah satu caranya ya dengan membalik suatu kata.
5) Versifikasi
Menurut Waluyo versifikasi terbagi menjadi rima, ritma, dan metrum.
a) Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima terdiri dari aliterasi, asonansi, rima berangkai, berselang, berpeluk, dan sebagainya (1995: 90).
Namun tampaknya pada puisi karya Sutardji ini tidaklah mengandung rima, baik itu rima aliterasi, asonansi, maupun disonansi karena setiap baris dalam puisi ini hanya terdiri dari satu kata saja.
b) Menurut Waluyo ritma sangat berhubungan dengan bunyi irama dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat (1995: 90-94).
Jika dihubungkan dengan pengertian di atas, maka puisi Tragedi Winka dan Sihka ini banyak mengandung ritma dan irama, yaitu pengulangan kata “kawin” lima kali berturut-turut masing-masing pada baris pertama hingga baris kelima, “sih” pada baris ke-31 hingga 36, dan “winka” pada baris ke-15 hingga 17, kata “sihka” pada baris ke-18 hingga 20, serta irama “ka” di setiap akhir baris ke-15 hingga 20.
c) Metrum yaitu berupa pengulangan tekanan yang tetap.
6) Tipografi
Menurut Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (2002:…), tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berkaitan dengan tata hubungan dan tata baris. Halaman tidak dipenuhi kata-kata hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Tipografi puisi Tragedi Winka dan Sihka ini adalah bentuk zig-zag. Bentuk zig-zag tersebut merupakan tanda ikonik yang menggambarkan jalan yang berlika-liku. Dalam puisi ini juga terlihat adanya gelombang sangat tajam, tidak melengkung tapi langsung turun miring kekanan dan kekiri dengan begitu tajamnya. Maka, dengan tipografi demikian tersebut, puisi ini memiliki makna perjalanan sebuah perkawinan yang tidak mulus, tetapi penuh dengan liku-liku dan marabahaya. Kehidupan dalam puisi ini sangat tragis dan jika jatuh dalam sebuah masalah maka akan sangat jatuh dengan begitu tajamnya. Jika dilihat dari tingkatan kemiringannya, sangat terlihat bahwa masalah yang dialami tokoh semakin lama semakin sulit. Bentuk gelombang tajam ini menunjukkan pasang surutnya kehidupan.
- HAKIKAT PUISI (STRUKTUR BATIN)
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya (Waluyo, 1995: 106).
Tema puisi ini adalah perjalanan hidup yang sengsara, penuh lika-liku, dan marabahaya.
2) Perasaan (Feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula (Waluyo, 1995: 121).
3) Nada dan Suasana
Nada yaitu sikap penyair kepada pembaca, sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya (Waluyo, 1995: 125).
Nada dan suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah kecarut-marutan kehidupan dan perasaan serta kesengsaraan.
4) Amanat (Pesan)
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah memahami tema, rasa, nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang
disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan.
Amanat yang dapat dipetik dari puisi Tragedi Winka dan Sihka ini yaitu bahwa kehidupan ini tidak akan pernah sama. Roda akan selalu berputar, terkadang berada diatas terkadang diabawah. Kehidupan ini tidak akan selalu senang tapi juga susah, dan bergantung bagaimana cara kita menyikapinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, Laely Nurul.2010.” Kritik Sosial dalam Kumpulan Sajak Terkenang Topeng Cirebon Karya Ajip Rosidi: Tinjauan Sosiologi Sastra”. http://etd.eprints.ums.ac.id/8455/1/A310060126.pdf , diakses Jumat pukul 21:48 7 Januari 2011Sayuti, Suminto A.2002.Berkenalan dengan Puisi.Yogyakarta:Gamma Media
Near.2010.”Nilai-Nilai Estetis dalam Puisi” http://nearpunyakumpulanbahasadansastra.blogspot.com/2010/11/nilai-nilai-estetis-dalam-puisi.html diakses Jumat pukul 18.52 WIB 7 Januari 2011
Fiya.2009.”Puting Beliung Kata dalam Puisi-Puisi Sutardji”. http://senyum19.multiply.com/journal/item/11 diakses Jumat pukul 22:24 WIB 7 Januari 2011
Mujahid, Zainul.2010.”Jagat Kata:Bentuk Suka-Suka”. www.stiba-malang.ac.id diakses Jumat pukul 19.09 WIB 7 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar